Reformasi telah membawa misi perubahan dan pembaharuan baik di bidang politik, ekonomi, sosial, hukum, pertanian, maupun bidang-bidang lainnya ke arah kondisi yang lebih mampu menciptakan kesejahteraan bagi rakyat secara adil dan sejahtera. Pembaharuan terhadap sistem perundang-undangan adalah lahirnya UU No. 32 Th 2004 dan UU No. 33 Th 2004 . Lahirnya kedua UU tersebut, telah memberikan landasan konstitusional yang lebih kuat, aspiratif, dan komprehensif bagi penyelenggaraan sistem desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia. Melalui desentralisasi dan otoda, proses pengambilan kebijakan, perencanaan pembangunan, pengorganisasian, serta mobilisasi sumber-sumber daya relatif berlangsung lebih cepat, lebih realistik, dan lebih aspiratif. Pembangunan di bidang pertanian perlu penataan yang lebih baik agar mampu mendorong tumbuh-kembangnya sistem agribisnis di setiap daerah dengan mendayagunakan keunggulan komparatif menjadi keungguan kompetitif. Terkait dengan sistim agribisnis maka perlu ada industri yang menyediakan input material ke sub sistem produksi on farm, adanya sub sistem industri pengolahan yang bahan bakunya dari sub sistem produksi, dan adanya jasa penunjang misalnya lembaga perbangkan dan jasa pemasaran yang berada dalam suatu kesatuan.
Pengembangan sistem agribisnis di Indonesia akan mengalami hambatan di berbagai aspek. Adapun aspek-aspek yang dimaksud sebagai berikut:
(1) Sumber daya manusia yang masih rendah, (2) Sulitnya dilakukan pembinaan terhadap suatu komoditi karena lokasinya terpencar-pencar.
(3) Sarana dan prasarana belum memadai sehingga menyulitkan mencapai efisiensi setiap pelaku usaha. (4) Akibat poin 2 dan kondisi yang banyak pulau sehingga transfortasi menjadi mahal. (5) Sub sistem industri pengolahan masih terpusat di kota dan masih mengandalkan industri pengolahan yang ada di negara maju. (6) Sub sistem kelembagaan jasa penunjang di pedesaan masih kurang, sehingga kondisi seperti ini kurang mendukung berkembangnya sistem agribisnis di Indonesia.
Melalui UU No 32 Th 2004 dan UU No. 33 Th 2004, daerah otonomi diberi kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab untuk menentukan masa depannya sendiri berdasarkan kebutuhan dan kemampuan yang dimilikinya. Dengan demikian sistim perencanaan yang selama ini bersifat datangnya dari atas ke bawah (top down planning) berubah menjadi sistim perencanaan yang datangnya dari bawah ke atas (bottom up planning), sehingga perlu di gali keunggulan komparatif (comparative advantage) dalam suatu daerah menjadi keunggulan bersaing (competitive advantage). Jadi pembangunan pertanian yang selama ini dilakukan yang hanya mengandalkan petik, olah, dan jual perlu di kembangkan menjadi sistim agribisnis yang di dalamnya terdapat penyedia input material, sub sistem produksi (usahatani dan eksplorasi), sub sistem industri pengolahan dan jasa penunjang yang dikembangkan secara harmonis dan simultan. Sektor tanaman pangan dan hortikultura, mencakup beberapa komoditas yakni ; padi, jagung, kacang-kacangan, sayur-sayuran, dan buah-buahan. Masing-masing daerah memiliki keunggulan komperatif terkait dari komoditas tersebut, misalnya; Sidrap terkenal dengan padinya, Bantaeng terkenal dengan jagungnya, dan Palopo terkenal dengan duriannya. Terkait dengan hal ini tugas pemerintah daerah yaitu membuat suatu visi yang tertuang ke dalam perencanaan strategis untuk mengembangkan sistem agribisnis pada komoditas tertentu sesuai dengan keunggulan lokalnya.
CONTOH
Padi di Sidrap
Visinya yaitu “Sidrap Sumber Beras Organik”
Langkah-langkahnya :
Mengembangkan SDM Petani yang perlu dilakukan yaitu pembinaan berupa sekolah lapang terhadap petani tentang kewirausahaan khusunya usaha beras organik. Peran serta penyuluh atau lembaga terkait dengan kewirausahaan termasuk perguruan tinggi sangat di butuhkan di sini, karena tujuan dari pembelajaran awal ini yaitu mengubah pola pikir petani yang selama ini hanya berpikir sebagai pekerja menjadi seorang manajer usaha.
Menyediakan Sarana dan Prasarana yang Memadai. Sarana dan prasarana yaitu fisik dan non fisik. Sarana dan prasarana fisik yaitu; jalanan, irigasi, pasar dalam bentuk fisik, sekretariat, dll. Untuk non fisik yaitu kelembagaan di tingkat petani. Kelompok tani sebaiknya diubah namanya menjadi “Kelompok Usaha Agribisnis Pedesaan” dengan pertimbangan agar tertanam suatu paradigma baru di mata masyarakat bahwa konsep pertanian yang selama ini terkesan primitif berubah menjadi suatu sistem usaha yang menjanjikan keuntungan yang besar
Menyediakan Sub Sistem Input Material. Adanya perusahaan benih padi yang berkualitas pada daerah tersebut, adanya perusahaan pupuk organik, adanya perusahaan pestisida organik, dan adanya peralatan mesin-mesin pertanian yang terkait dengan produksi on farm beras organik.
Melakukan Pembinaan Terhadap Produksi On Farm. Diusahakan agar petani betul-betul mengetahui teknik dari pembuatan beras organik baik dari teknik pengolahan tanah, penanaman, pemeliharaan, panen, maupun pasca panen. Dengan demikian peranan dari penyuluh pertanian baik penyuluh PNS, Swakarsa, maupun Swasta sangat di butuhkan dalam memberikan bimbingan kepada petani dengan mengacu dari konsep yang dikeluarkan oleh perguruan tinggi/lembaga konsultan agribisnis yang ada pada daerah tersebut.
. Menyediakan Industri Pengolahan Diusahakan keberadaan pabrik penggilingan beras di setiap hamparan. Hamparan yang dimaksud yaitu luasan areal pertanaman padi, dan dalam satu hamparan terdiri dari 5 – 10 kelompok usaha agribisnis pedesaan. Status kepemilikan pabrik penggilingan padi di setiap hamparan sebaiknya milik bersama dari gabungan kelompok usaha agribisnis pedesaan agar tercipta ekonomi kerakyatan sesuai dengan amanah UUD 45. Proses pengadaan pabrik penggilingan padi ini, dapat dilakukan dengan memberikan bantuan langsung kepada gabungan kelompok usaha agribisnis pedesaan atau dapat diusahakan sendiri oleh organisasi tersebut dengan meminjam dana dari lembaga perbankan yang ada di daerahnya melalui pembinaan dari pemerintah setempat. Industri pengolahan ini sebaiknya menerapkan konsep pemasaran holistik mengingat sub sistem yang paling penting dalam sistem agribisnis berada pada sub sistem ini. Dengan demikian padi yang telah dipanen, apabila telah dilakukan pengeringan (penanganan pasca panen) sampai kadar kekeringan tertentu, kemudian digiling menjadi beras. Setelah menjadi beras, dilakukan penyortiran yang selanjutnya dilakukan pengemasan. Dalam kemasan tersebut sebaiknya disertai merek, nama perusahaan yang memproduksinya, stándar mutu, dll, agar produk yang dihasilkan memiliki karakteristik sendiri yang berbeda dengan beras pada umumnya.
6. Jasa Penunjang Keberadaan jasa penunjang sangat dibutuhkan dalam sistem agribisnis. Adapun jasa penunjang yang dimaksud yaitu; (a) Lembaga keuangan (perbangkan, koperasi, dll), yang dapat meminjamkan modal kepada kelompok usaha agribisnis pedesaan tersebut. (b) Pembuatan akta notaris atau lembaga lainnya yang terkait dengan status hukum pada usaha agribisnis pedesaan tersebut. (c) Lembaga konsultan/perguruan tinggi yang dapat dijadikan sebagai sarana konsultasi terkait dengan pengembangan usaha tersebut. (d) Perusahaan distribusi yang dapat membantu usaha agribisnis pedesaan tersebut dalam mendistribusikan produknya ke konsumen. (e) Fasilitas internet yang dapat dijadikan sebagai sarana dalam mengakses informasi baru yang dibutuhkan, serta media untuk memperkenalkan produk/beras organik tersebut, dan (f) Media cetak dan elektronik yang dapat membantu untuk memperkenalkan/mempromosikan beras organik ini kepada konsumen, serta (g) Jasa penunjang lainnya yang dapat membantu.
contoh visi dan langkah-langkah pelaksanaannya yang telah di paparkan, dapat dijadikan acuan dalam pengembangan agribisnis di setiap daerah. Seiring dengan adanya otonomi daerah dan desentralisasi, merupakan langkah yang tepat untuk mewujudkan pembangunan nasional yang bertolak dari desa, mengingat aset lahan di desa yang dimiliki oleh masyarakat bukan main besar nilainya. Dengan demikian mengembangkan bidang pertanian dalam sistem agribisnis berarti juga membangun desa, ataupun sebaliknya. Keduanya memiliki valensi yang sama untuk bisa bekreasi dan bersinergi untuk menghasilkan resultat nyata. Meskipun konkretisasinya akan melampaui jalan yang cukup panjang. Karena itu tidak akan berhasil kalau pendekatannya diwujudkan dengan cara konvensional berupa proyek, tetapi harus merupakan program yang dilaksankan secara konsisten dan berkelanjutan.
Menghidupkan keempat sub sistem yang menopang sistem agribisnis di desa memerlukan sikap politik yang sangat mendasar, apalagi geraknya sistem ini akan menyentuh budaya baik yang mengenai budaya pemilikan lahan, budaya industrial yang lebih rasional (business oriented), budaya kooperatif yang lebih kompetitif dan komersial, maupun budaya konsumsi pangan yang lebih praktis dan hemat energi. Semuanya dilalui bukan cara komando, tetapi ditempuh dengan proses pendidikan masyarakat yang pendekatannya tentunya sangat mempertimbangkan kearifan lokal yang ada serta tradisi komunitas yang masih berakar kuat.
Meskipun berjangka waktu yang panjang, semuanya pasti akan lebih lestari kalau bergerak dari keberdayaan masyarakat sendiri. Suatu “magnitude” yang luar biasa kalau kesejahteraan masyarakat bisa benar-benar lahir dari masyarakat sendiri dan menjadi milik masyarakat sendiri pula.
Masih butuhka gula merah
BalasHapus